Kisah Imam Robi'ah Bin Farukh Ar-Ro'yi. Di antara kisah yang cukup banyak beredar di berbagai media adalah kisah mengharukan tentang seorang tokoh Tabi’i bernama Rabi’ah al Ra’yi. Dalam kisah itu disebutkan bahwa beliau bertemu ayah beliau, Farrukh setelah terpisah selama 27 tahun. Saat pertemuan itu, sang ayah terkejut dan bangga karena 1. NAMA DAN TANAH KELAHIRAN Adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad Al-Auza’i Ad-Dimasyqi, ulama ahli fiqh besar dari Syam . Madzhab yang didirikan ulama yang akrab disebut Imam Abdurrahman Al-Auza’i itu sempat bertahan selama 220 tahun sebelum tergusur oleh madzhab lain yang lebih populer. Madzhab ini banyak diamalkan pada kisaran tahun ke-2 Hijrah sampai pertengahan abad ke-3 Hijrah di negeri Syam sekarang Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina. Dinamakan madzhab al-Auza’ie karena penisbatan kepada Imam madzhab ini, yaitu Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’ie. Lahir di Ba’labak, salah satu daerah di Lebanon pada tahun 88 Hijriyah. Dan penisbatan al-Auza’ie adalah penisbatan suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’ [الأوزاع], suku asli yang mendiami Bab-al-Faradis, sebelah selatan Beirut yang berbatasan dengan Suriah. dan wafat di kota yang sama pada tahun 157 Hijrah. Ahmad Amin, sejarawan kontemporer dari Mesir, mengatakan Imam Al-Auza’i berasal dari suku Auza’, salah satu sub kabilah Hamdan yang berdomisili di Arab Selatan. Sementara Shihabuddin Abu Abdillah Ya’qub bin Abdullah Al-Hamawi, sejarawan masa kejayaan Dinasti Abbasiyyah mengatakan, Al-Auza’ adalah salah satu kabilah di Yaman yang kemudian hijrah ke Syam. Daerah baru tersebut kemudian dikenal juga dengan nama Al-Auza’. Di desa Auza’ itulah Imam Abdurrahman Al-Auza’i lahir pada tahun 88 H. Kebetulan pada masa itu masih ada sebagian sahabat Nabi SAW yang masih hidup. Sejak kecil Imam Al-Auza’i dikenal gigih menuntut ilmu dari para ulama. Ia pernah mengembara sampai Yamamah, Makkah, Basrah, Damaskus dan Beirut. Imam al-Zirikli dalam kitabnya al-A’lam mengutip pernyataan Shalih bin Yahya, yang ini juga tertulis dalam tarikh Baghdad, beliau mengatakan “Imam al-Auza’ie adalah orang yang punya kedudukan luhur bagi warga Syam. Bahkan perintahnya lebih ditaati dibanding perintah penguasa ketika itu”. Beliau hidup semasa dengan Imam Ja’far al-Shadiq 148 H, Imam Robi’ah 136 H di Mekkah, Imam Abu Hanifah di Baghdad 150 H, Imam al-Laits bin Sa’d 175 H di Mesir, Imam Sufyan al-Tsauri 161 H, dan beberapa ulama pada akhir abas ke-2 Hijrah. 2. PERKEMBANGAN MADZHAB AL-AUZA’IE Madzhab Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik dan Sufyan bin Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri. Madzhab Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam Syiria selama 220 tahun sebelum terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang di Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan pemikiran Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi mudawwan dalam satu buku tersendiri. Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah Abdurrahman bin Ibrahim 245 H dari keluarga Umawi penguasa ketika itu, yang menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa 190 H yang membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana beliau juga seorang khathib di Qurthuba. Pemikiran Imam yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti Ikhtilaf Al-Fuqaha karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam Syafi’i. Dalam Al-Umm, Imam Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir Ad-Dimasyqi. Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut hingga saat ini. Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang didirikan pada tahun 1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa al-Islamiyyah, Akademi Studi Keislaman Imam Al-Auza’i. 3. METODE FIQH AL-AUZA’IE Sheikh Muhammad al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh al-Tasyri’ al-Islami memberikan sedikit ciri khas yang dimiliki oleh madzhab al-Auza’ie ini, yaitu mereka sangat benci sekali dengan Qiyas dalam fiqih mereka. Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’ie sendiri yang merupakan seorang Muhaddits Ahli Hadits. Menurut Syaikh Muhammad Fauzi, guru besar ilmu fiqih kontemporer di Damaskus, Imam Al-Auza’i termasuk tokoh yang mengedepankan nash hadits dan menolak penggunaan logika dalam bentuk qiyas. Demikian juga yang diceritakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm-nya. Dalam salah satu nasehat kepadanya kepada Baqiyah bin Al-Walid, Imam Abdurrahman Al-Auz’ai mengatakan, “Wahai Baqiyah, janganlah kamu membicarakan salah seorang sahabat Nabi kecuali mengenai kebaikannya. Sesungguhnya ilmu itu adalah apa yang datang dari sahabat Nabi, maka yang datang dari selain mereka bukan merupakan ilmu ” . Kata “yang bukan dari sahabat nabi” tersebut ditujukan kepada fatwa berdasarkan qiyas 4. GURU-GURU IMAM AUZA’IE Guru-gurunya kebanyakan para tabi’in yang mempelajari ilmunya langsung dari para sahabat Rasulullah SAW. Mereka antara lain Atha’ bin Abi Rabbah mufti Makkah, Muhammad bin Sirin wafat 110 H, mufti Basrah, Imam Muhammad Al-Baqir ulama kalangan ahlul bait, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri wafat 124, muhaddits dan mufti Madinah, Yahya bin Abu Katsir, Ismail bin Ubaidillah bin Abul Muhajir, Muth’im bin Al-Miqdam, Umar bin Hani’, Muhammad bin Ibrahim, Salim bin Abdullah, Syadad Abu Ammar, Ikrimah bin Khalid, Alqamah bin Martsad, Maimun bin Mihran, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan masih banyak lagi. Al-Abbas bin al-Walid menceritakan kenangan guru-gurunya tentang masa kecil Al-Auza’i. Menurut mereka Abdurrahman Al-Auza’i pernah bercerita, “Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang dikenal sebagai seorang syaikh yang mulia dari Arab, lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, Kamu anak siapa?’ Akupun menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.’ Lalu Syaikh itu mengajakku kerumahnya, dan aku tinggal bersamanya sehingga aku baligh. Syaikh itu juga mengikutsertakan aku dalam dewan mahkamah pengadilan untuk bermusyawarah dan juga ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Ketika sampai di Yamamah, aku masuk ke dalam masjid jami’. Dan saat keluar dari masjid seorang temanku berkata kepadaku, Saya melihat Yahya bin Abi Katsir salah seorang ulama Yamamah kagum kepadamu dan mengatakan, Tidaklah saya melihat di antara para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!’ Al-Auza’i berkata, Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya hingga 14 atau 13 buku, tetapi kemudian semuanya habis terbakar.” 5. PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AUZA’IE Perihal keilmuannya, banyak ulama yang bersaksi akan ketinggian dan keluasan pengetahuan sang sang Imam. Ummayyah berkata, “Sungguh telah terkumpul pada diri Al-Auza’i sosok seorang ahli ibadah, ulama yang alim dan orang yang jujur.” Imam Malik berkata, “Al-Auza’i adalah seorang imam yang diikuti”. Ibnul Mubarok berkata, “Kalau saya disuruh memilih pemimpin untuk umat ini, maka saya akan memilih Sufyan ats-Tsauri dan al-Auza’i. Dan jika disuruh memilih di antara keduanya, maka saya akan memilih al-Auza’i karena dia lebih lembut.” Hal seperti ini juga dikatakan Abu Usamah. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Manusia pada zaman itu merujuk kepada empat orang Hammad bin Zaid di Bashrah, Sufyan ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik di Hijaz dan Al-Auza’i di Syam. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri madzhab Syafi’i, mengatakan, “Saya tidak pernah melihat seorang laki-laki yang ilmu fiqihnya seluas ilmu haditsnya seperti Al-Auza’i.” Demikianlah, tak hanya dikenal sebagai ulama yang alim, Imam Abdurrahman Al-Auza’i juga termasyhur dengan keshalihan dan ketaqwaannya. Perihal ketaqwaan Al-Auza’i, sebagian penduduk kota Beirut menceritakan, suatu hari ibunya memasuki rumah sang imam dan memasuki kamar shalatnya. Sang ibu mendapati tempat shalat Imam Al-Auz’ai basah karena sisa air mata tangisan malam harinya. Ketika berita keluasan ilmunya tersebar, para penuntut ilmu pun berduyun-duyun datang dan belajar kepada Imam Al-Auza’i. Di antara mereka tercatat Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq Al-Fazari, Yahya Al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi. 6. SEBAGIAN FATWA IMAM AUZA’IE Beberapa fatwa Imam Al-Auza’i adalah sebagai berikut Apabila air –baik sedikit maupun banyak– terkena sesuatu yang mengandung najis lalu air itu tidak berubah warna, rasa maupun baunya, maka ia tidak najis. Dasar pendapat ini adalah hadits tentang badui yang kencing di masjid yang belakangan diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Muslim dan hadits tentang kesucian air sumur yang belakangan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i Fatwa lainnya, apabila bagian bawah sepatu terkena najis, lalu digosok-gosokkan ke tanah hingga najisnya hilang, maka sepatu itu telah suci dan seseorang boleh melaksanakan sambil mengenakan sepatu itu. Dasar fatwa ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian datang ke masjid, maka hendaklah ia membalikkan alas kakinya. Jika ia melihat ada najis, hendaklah ia mengusap-usapkan ke tanah kemudian melaksanakan shalat sambil mengenakannya.” 7. NASIHAT-NASIHAT IMAM AL-AUZA'IE Ada beberapa nasihat yang pernah disampaikan Imam Al-Auza’ie, antaranya ialah beliau pernah mengatakan kepada Walid bin Mazid, “Apabila Allah menghendaki keburukkan untuk sesuatu , Allah membuka satu pintu suka berdebat dan Allah sulitkan mereka untuk beramal.” Beliau juga menjelaskan akidah Ahli Sunnah. Sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad bin Katsir Al-Mashishi bahawa mendengar Al-Auza’ie mengatakan, “Kami para tabi’in semuanya berpendapat bahawa Allah berada di atas Arsy, dan kami beriman terhadap semua keterangan tentang Allah yang terdapat dalam sunnah.” Beliau menasihatkan agar manusia sentiasa berpegang dengan sabda Nabi SAW. Sebagaimana diriwayatkan Amir bin Yasaf bahawa beliau mendengar Al-Auza’ie mengatakan, “Apabila kamu mendengar hadis dari Nabi SAW, janganlah kamu mengambil pendapat orang lain, kerana beliau adalah mubaligh iaitu peyampai berita dari Allah.” Beliau juga menasihatkan “Tidaklah seseorang berbuat bida’ah kecuali pasti akan dicabut sifat waraknya.” Dari Abu Ishaq Al-Fazari, bahwa Al-Auza’ie mensihatkan, “Ada lima hal yang dipegangi para sahabat dan tabi’in, berpegang teguh dengan pemerintah, mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, solat berjemaah, membaca Al-Quran dan berijtihad.” Ibnu Syabur mengatakan bahawa Imam Al-Auza’ie pernah menasihatkan ; “Barang siapa mencari pendapat yang aneh yang menyimpang dari para ulama’ niscaya dia akan keluar daripada islam.” Walid bin Mazid menceritakan bahawa Al-Auza’ie mengatakan, “Celakalah orang yang mendalami ilmu untuk masalah selain ibadah dan orang yang berusaha menghalalkan hal yang haram dengan syubhat” Beliau juga pernah berpesan dengan satu perkataan yang indah dan cukup terkenal. Sebagaimana diriwayatkan oleh Walid bin Mazid, beliau mendengar Imam Al-Auza’ie mengatakan, عَلَيْكَ بِاثَارِ مَنْ سَلَفَ وإِنْ رَفَضَكَ الناسُ وَإِياكَ وَرَأْيَ الرجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ بالْقَوْلِ فَإِن الْأَمْرَ يَنْجَلِي وَأَنْتَ عَلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ “Berpegang teguhlah dengan atsar riwayat para ulama salaf, meskipun masyarakat menolakmu. Jangan mengikuti pemikiran manusia, meskipun mereka menghiasi ucapannya. Sesungguhnya, semua perkara akan nampak dalam keadaan engkau berada di jalan yang lurus.” 8. PUNAHNYA MADZHAB AUZA’IE Sayangnya, di pertengahan abad ke-3, madzhab ini perlahan mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam, yang akhirnya menggerus madzhab al-Auza’ie. Kalau di Andalus, madzhab initergerus oleh eksistensinya madzhab al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut. Tapi kalau diteliti lebih dalam, punahnya madzhab ini bukan hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi kerena memang tidak adanya budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan pengikut Imam al-Auza’ie. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya kita sulit untuk melihat fiqih dan corak ushul madzhab al-Auza’ie serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih mendapati beberapa pendapat fiqih beliau di beberapa kitab fiqih Muqaranah Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’ie karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah. Selain fatwa-fatwa fiqih, Imam Al-Auza’i yang juga terkenal sebagai ahli sastra juga sering menyampaikan nasehat-nasehatnya dalam bahasa yang indah. Diantara nasehatnya adalah, “Barangsiapa yang lebih banyak mengingat kematian maka kehidupan cukup mudah baginya mencari bekal dengan beramal shalih. Dan barangsiapa berucap dengan ilmunya maka dia akan sedikit bicara.” Al-Auza’i juga berkata, “Barangsiapa yang lama dalam shalat malam, maka Allah akan memudahkan urusannya dan menaunginya pada hari kiamat”. Al-Walid bin Mazid mendengar Al-Auza’i berkata, “Apabila Allah menghendaki suatu kaum kejelekan, maka Allah akan membukakan baginya pintu berdebat dan enggan untuk beramal.” Dan juga berkata, “Sesungguhnya orang Mu’min itu sedikit bicara banyak beramal dan orang munafiq itu banyak bicara dan sedikit beramal.” Penguasa Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur meminta Al-Auza’i menuliskan nasehat untuknya. Maka sang imam pun menulis, “Amma ba’du, wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah. Rendah hatilah maka Allah akan mengangkatmu pada hari ketika Allah merendahkan orang-orang yang sombong di dunia…”Tak hanya termasyhur di kalangan fuqaha, Imam Al-Auza’i yang sangat shalih dan wara’ itu juga terkenal di kalangan ahli ma’rifat. Ketika ia wafat, misalnya, Muhammad bin Ubaid sedang bersama Sufyan ats-Tsauri ketika datang seorang laki-laki, dia berkata, “Saya bermimpi raihanah tumbuhan berbau harum yang berasal dari daerah Maghrib diangkat.” Mendengar hal itu Sufyan Ats-Tsauri menimpali, “Jika mimpimu benar, sungguh Al-Auza’i telah wafat.” Mereka lalu menulis surat untuk menanyakan hal itu, dan ternyata memang benar demikian. Ada beberapa versi tentang penyebab kematiannya. Yang paling populer adalah setelah selesai mengecat sesuatu, Imam Al-Auza’i masuk kamar mandi yang ada di rumahnya. Kemudian istrinya masuk membawa tabung yang berisi arang dan menyalakannya agar sang suami tidak kedinginan di dalamnya. Setelah itu sang istri keluar dan menutup pintu kamar mandi tersebut. Ketika asap arang itu menyebar, Imam Al-Auza’i pun menjadi lemas. Ia berusaha membuka pintu, tetapi tidak berhasil dan terjatuh. “Kami menemukannya dalam keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat,” kata salah seorang saksi. Sebagaimana para sufi dan ulama salaf lain yang hidupnya sangat bersahaja, Imam Abdurrahman Al-Auza’i pun tidak meninggalkan harta warisan kecuali uang sebanyak 6 dinar. Sang Imam wafat pada bulan Shafar 157 H. Ada juga sebagian kecil ulama yang mengatakan pada tahun 153 H.
Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma'shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid'ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al 'Ishmah (ma'shum) hanyalah milik Nabi. Imam Ja'far ash Shadiq dikarunia beberapa anak.
Biografi Imam Al-Auza’iAl-Auza’i 88–157 HNama beliau adalah Abdurrahman bin Amr bin Yahya Al-Auza’ dikenal dengan nama nisbahnya, Al-Auza’i, nisbah ke daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Beliau dilahirkan pada tahun 88 H dan mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim. Namun, sejak kecil, beliau senantiasa berusaha memperbaiki layaknya ulama lainnya, beliau melakukan perjalanan menuju Yamamah dan Bashrah sebagai petualangan dalam menuntut dan murid Al-Auza’iBeliau mengambil hadis dari Atha’ bin Abi Rabah, Qasim bin Makhimarah, Syaddad bin Abu Ammar, Rabi’ah bin Yazid, Az-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama besar dari kalangan tabiin lainnya. Diceritakan juga bahwa beliau sempat mengambil hadis dari Muhammad bin Sirin di waktu Muhammad bin Sirin daftar para ulama yang menjadi murid beliau antara lainSyu’bah, Ibnu Mubarak, Walid bin Muslim, Al-Haql bin Ziyad, Yahya bin Hamzah, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Yusuf, Al-Faryabi, Abu Al-Mughirah, dan sejumlah ulama untuk Al-Auza’iSelama hidupnya, Imam Al-Auza’i lebih banyak disibukkan dengan berdakwah dan mengajarkan Zur’ah mengatakan“Pekerjaan beliau adalah menulis dan membuat risalah. Risalah-risalah beliau sangat menyentuh.”Walid bin Mazid mengatakan“Saya belum pernah melihat beliau tertawa terbahak-bahak. Apabila beliau menyampaikan kajian yang mengingatkan akhirat, hampir tidak dijumpai hati yang tidak menangis.”Beliau Walid bin Mazid juga mengatakan“Saya belum pernah melihat orang yang lebih rajin beribadah melebihi Al-Auza’i.”Al-Haql mengatakan“Al-Auza’i telah menjawab dan menjelaskan permasalahan.”Sementara, Al-Kharibi mengatakan“Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Beliau layak untuk mendapat jabatan khilafah.”Bisyr bin Mundzir mengatakan“Saya melihat Al-Auza’i seperti orang buta, karena khusyuknya.”Disebutkan bahwa beliau menghidupkan malamnya dengan salat dan membaca Alquran sambil Al-Auza’iAda beberapa nasihat yang pernah disampaikan Al-Auza’i, di antaranyaBeliau pernah mengatakan kepada Walid bin Mazid“Apabila Allah menghendaki keburukan untuk suatu kaum, Allah membuka pintu suka berdebat’ dan Allah sulitkan mereka untuk beramal.”Beliau juga menjelaskan akidah ahlus sunnah, sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad bin Katsir Al-Mashishi, bahwa beliau mendengar Al-Auza’i mengatakan“Kami dan para tabiin, semuanya, berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy, dan kami beriman terhadap semua keterangan tentang Allah yang terdapat dalam sunah.”Beliau menasihatkan agar manusia senantiasa berpegang dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa diriwayatkan Amir bin Yasaf, bahwa beliau mendengar Al-Auza’i mengatakan“Apabila kamu mendengar hadis dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, janganlah kamu mengambil pendapat orang lain, karena beliau adalah mubalig penyampai berita dari Allah.”Beliau juga menasihatkan“Tidaklah seseorang berbuat bid’ah kecuali pasti akan dicabut sifat wara’-nya”.Dari Abu Ishaq Al-Fazari, bahwa Al-Auza’i menasihatkan“Ada lima hal yang dipegangi para sahabat dan tabiin berpegang teguh dengan jamaah pemerintah, mengikuti sunah, memakmurkan masjid rajin shalat berjamaah, membaca Alquran, dan berjihad.”Ibnu Syabur mengatakan bahwa Al-Auza’i pernah menasihatkan“Barang siapa yang mencari-cari pendapat-pendapat aneh yang menyimpang dari para ulama, niscaya dia akan keluar dari Islam.”Walid bin Mazid menceritakan bahwa Al-Auza’i mengatakan“Celakalah orang yang mendalami ilmu untuk masalah selain ibadah dan orang yang berusaha menghalalkan hal yang haram dengan syubhat.”Beliau juga pernah berpesan dengan satu perkataan yang indah dan cukup terkenal, sebagaimana diriwayatkan oleh Walid bin Mazid beliau mendengar Al-Auza’i mengatakanعَلَيكَ بِآثَارِ مَن سَلَفَ وَإِن رَفَضَكَ النّاسُ وَإِيّاكَ ورَأيَ الرِّجَال وَإِن زَخْرَفُوهُ بِالقَولِ فَإِنَّ الأَمرَ يَنجَلِي وَأَنتَ عَلَى طَرِيقٍ مُستَقِيم“Berpegang-teguhlah dengan atsar riwayat para ulama salaf, meskipun masyarakat mengikuti pemikiran manusia, meskipun mereka menghiasi semua perkara akan tampak dalam keadaan engkau berada di jalan yang lurus.”Wafatnya Al-Auza’iBeliau sangat dimuliakan oleh Khalifah Al-Manshur. Khalifah sangat memerhatikan nasihat-nasihat Al-Auza’i. Sampai akhirnya, beliau pernah ditawari untuk menjadi hakim oleh Khalifah, namun beliau akhir hayatnya, beliau berangkat ke Beirut dan melaksanakan tugas ribath menjaga daerah perbatasan dan meninggal dunia di sana. Warisan yang beliau tinggalkan ketika beliau wafat hanya enam dinar, dan itu merupakan sisa dari sedekah yang dia berikan. Semoga Allah merahmati Imam Al-Auza’ KitabAdz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh, Al-Maktabah Asy-Syamilah, no. urut 177
Yahya Al Qaththan berkata, “Sufyan Ats Tsauri lebih unggul daripada Malik dalam hal apapun”. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Tidaklah aku temukan orang yang lebih paham tentang halal dan haram kecuali Sufyan Ats Tsauri”. Beliau juga berkata, “Sufyan Ats Tsauri pada zamannya seperti Abu Bakar dan Umar pada zamannya”.
AL-AUZA’I, IMAM FIKIH NEGERI SYAM Oleh Achmad Dahlan, Lc., MA. Nama dan Masa Kecil Al-Auza’i Nama lengkapnya Abdurrahman bin Amr bin Yuhmid al-Auza’i as-Saibani asy-Syami ad-Dimasyqi. Nisbat al-Auza’i berasal dari tempat tinggalnya. Auza’ sendiri pada awalnya merupakan sekumpulan orang dari berbagai kabilah Arab dari Himyar Yaman yang berhijrah ke sebuah desa dekat Damaskus, sehingga tempat tersebut diberi nama dengan nama kabilah mereka. Sebagian berpendapat bahwa Imam al-Auza’i bukan berasal dari kabilah Auza’, akan tetapi dari Bani Saiban. Beliau tinggal di Auza’ sehingga nisbatnya disebut al-Auza’i. Adapun ciri-ciri fisik beliau sebagaimana dijelaskan oleh para ahli sejarah adalah berperawakan tinggi, berkulit coklat dan mempunyai jenggot yang tipis. Di masa tuanya beliau menyemir rambutnya dengan hinna’ daun pacar. Terkadang beliau memakai surban, dan pada saat yang lain memakai kopiah hitam. Beliau lahir di Ba’labak Lebanon pada tahun 88 H, tumbuh di al-Biqa’ Lebanon dan kemudian berpindah ke Auza’ dekat dengan Damaskus Syria. Di akhir hanyatnya beliau ikut berjuang menjaga perbatasan di Beirut hingga wafat di sana. Beliau tumbuh sebagai anak yatim dan diasuh oleh ibunya; seorang wanita miskin tetapi mulia dan cerdas. Ia mendidik al-Auza’i dengan nilai-nilai ke-Islaman sedari dini. Sejak kecil, beliau telah terbiasa untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lain di al-Biqa’, dalam rangka mencari lingkungan yang baik dan guru-guru yang mumpuni. Hingga akhirnya keduanya sampai di Beirut di mana mereka bertemu dengan seorang syaikh yang pernah menjadi sahabat ayahnya. Beliau kemudian dididik oleh sahabat ayahnya tersebut. Menuntut Ilmu Sejak Kecil Beliau mengawali menuntut ilmu dengan belajar Al-Qur`an dan baca tulis di al-Kuttab atas arahan ibunya, dan kemudian belajar kepada seorang syaikh sahabat ayahnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sang guru inilah yang menanamkam kecintaan kepada ilmu dan cita-cita yang tinggi untuk meraih kedudukan yang mulia dalam keilmuan Islam. Ia mengirimkan al-Auza’i ke kota al-Yamamah saat ini masuk dalam wilayah Saudi Arabia, sebelah selatan Riyadh untuk berguru kepada Yahya bin Katsir, seorang ahli hadis mumpuni pada zamannya. Beliau cukup lama berguru kepada Yahya bin Abi Katsir, sehingga menjadi salah satu gurunya yang paling banyak memberikan pengaruh terhadapnya. Al-Auza’i pernah berkata ”Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Suatu hari aku bermain dengan anak-anak sebayaku, lalu lewatlah seorang syaikh sehingga anak-anak yang lain berlarian pergi ketika melihatnya. Hanya aku sendiri yang tetap berdiri di tempatku. Ia bertanya ”Putra siapakah engkau ini?” Aku pun menyebutkan nama ayahku. Ia kemudian berkata ”Engkau anak saudaraku. Semoga Allah merahmatinya.” Ia pun membawaku ke rumahnya, dan aku tinggal bersamanya hingga usia baligh. Ia memasukkanku ke Diwan semacam madrasah dan juga mengirimku untuk belajar ke al-Yamamah. Ketika kami sampai di al-Yamamah, kami masuk di Masjid Jami’. Ketika keluar, salah seorang temanku berkata ”Syaikh Yahya bin Abi Katsir sangat kagum denganmu dan dia mengatakan ” Aku tidak melihat dalam rombongan kalian yang lebih layak menuntut ilmu selain pemuda ini.” Maka aku pun mulai menuntut ilmu darinya dan aku menulis darinya 13 atau 14 jilid buku, dan semuanya terbakar.” Dari Yahya bin Abi Katsir, al-Auza’i banyak belajar ilmu hadis selain ilmu-ilmu yang lain. Darinya juga beliau belajar kemuliaan akhlak. Yahya juga yang memotivasi al-Auza’i untuk pergi ke Basrah Iraq untuk berguru kepada al-Hasan al-Basri dan Muhammad bin Sirin, dua orang ulama tabi’in yang banyak menjadi rujukan. Akan tetapi al-Auza’i menunda-nunda perjalanannya karena masih ingin berguru kepada Yahya, hingga akhirnya ketika al-Auza’i sampai di Basrah, al-Hasan al-Basri sudah meninggal dan Ibnu Sirin sudah sakit parah di akhir hayatnya. Dari Basrah al-Auza’i juga pergi ke berbagai kota untuk berguru dari para ulama. Di antara kota yang pernah beliau singgahi adalah Beirut, Makkah dan Madinah. Ibadah dan Kemulian Akhlak Al-Auza’i Imam al-Auza’i terkenal dengan budi dan akhlaknya. Beliau mempunyai hati yang sangat halus, sering menangis ketika shalat, berjiwa besar, sangat tawadhu’, mudah memaafkan, tidak banyak bicara, banyak berbuat kebaikan kepada orang lain, mudah bergaul, disukai banyak orang dan selalu berusaha untuk membantu orang lain walaupun dari kalangan non-Muslim. Di antara hal yang dikenang oleh muridnya dan orang yang mengenalnya bahwa Imam al-Auza’i selalu menghormati tamu dan murid-muridnya dan selalu mengantar mereka keluar rumah saat selesai bertamu atau belajar darinya. Bahkan beliau rela menempuh perjalanan yang jauh bersama mereka. Dalam interaksi dengan penguasa, terkadang beliau menerima pemberian mereka dan terkadang menolaknya. Dan apabila beliau mendapat pemberian dari para pembesar, beliau membagikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, sehingga orang mengenalnya sebagai seorang yang sangat dermawan. Shadaqah bin Abdullah berkata ”Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih pemaaf, lebih sempurna, dan lebih sabar atas hinaan yang diterimanya melebihi al-Auza’i.” Dalam hal ibadah, beliau seorang ahli ibadah dan terkenal dengan kekhusyukannya dalam shalat. Selama hidupnya, ia terus menjaga hal ini hingga dikenal sebagai seorang yang selalu menjaga shalat wajib dan sunnah, Qiyamullail, zikir dan berhaji beberapa kali selama hidupnya. Ayyub bin Suwaid berkata ”Al-Auza’i ikut dalam rombongan menuju al-Yamamah. Sesampainya di sana, mereka masuk masjid. Al-Auza’i segera menuju salah satu tiang masjid dan melaksanakan shalat. Ketika itu, Yahya bin Abi Katsir duduk di dekatnya. Yahya terus memperhatikannya, dan kemudian berkata ”Alangkah mirip shalat pemuda ini dengan shalat Umar bin Abdul Aziz.” Shalat Umar bin Abdul Aziz sendiri sangat dipuji oleh Imam Malik bin Anas. Beliau berkata ”Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih mirip dengan shalat Rasulullah Saw. daripada shalatnya imam kalian ini Umar bin Abdul Aziz.” Al-Walid bin Muslim pernah berkata ”Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dari al-Auza’i.” Ia juga berkata ”Aku melihat al-Auza’i tetap duduk di tempat shalatnya untuk berzikir hingga terbit matahari.” Uqbah bin Salamah berkata ”Aku bertemu al-Auza’i berangkat shalat Jumat di pintu masjid dan aku mengucapkan salam kepadanya. Ketika masuk, aku mengikutinya. Ia pun melaksanakan shalat, dan aku menghitung jumlah rakaat shalatnya sebanyak 43 rakaat hingga datangnya imam. Berdirinya, rukuknya dan sujudnya, semuanya dilakukan dengan khyusuk.” Abu Mus’hir berkata ”Al-Auza’i tidak pernah terlihat menangis ataupun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya. Tetapi terkadang beliau tersenyum, seperti yang dilakukan oleh Nabi. Ketika malam hari, beliau menghidupkan malamnya dengan al-Qur`an dan tangisan.” Keberanian Al-Auza’i dalam Kebenaran Al-Auza’i mempunyai keberanian yang melebihi kebanyakan orang. Beliau beberapa kali ikut berperang di perbatasan untuk mempertahankan wilayah kekhilafahan Islam. Bahkan beliau wafat ketika sedang menjaga perbatasan di Beirut. Keberaniannya dalam membela kebenaran juga terlihat dalam beberapa peristiwa bersama para penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Beliau berani menyatakan yang benar itu benar dan salah itu salah tanpa ragu dan tanpa kenal rasa takut. Seakan-akan beliau ingin menunjukkan kepada umat bagaimana seharusnya seorang ulama bersikap di depan para penguasa. Jangan sampai ulama menjadi kaki tangan dan corong penguasa menghadapi rakyat untuk menutupi kezaliman mereka. Beliau hidup di zaman transisi antara Daulah Umawiyyah dan Daulah Abbasiyyah. Terhadap kedua kekhilafahan itu, al-Auza’i selalu bersikap tegas dan berani menyampaikan kebenaran, apa pun resiko yang diterimanya. Sikap ini ternyata membuatnya disegani para penguasa. Maka Hisyam bin Malik pun pernah mengutusnya untuk berdebat dengan kelompok Qadariyyah. Abu Ja’far al-Manshur pernah mendatanginya dengan kebesaran dan sikap angkuhnya, akan tetapi akhirnya ia pun mendengar dan mau menerima nasihat al-Auza’i. Dalam beberapa kesempatan, beliau juga menulis surat kepada para pejabat untuk menasihati mereka atas kesalahan dan penyimpangan yang mereka lakukan. Tercatat beliau pernah menulis surat kepada Abu Ja’far al-Manshur; khalifah Daulah Abbasiyyah, Shalih bin Ashim; gubernur Syam, Ibnu Azraq; menteri pajak dan beberapa pejabat yang lain. Keilmuan Al-Auza’i Membahas keilmuan al-Auza’i memerlukan penjelasan yang panjang. Para ulama dan kaum muslimin pada zamannya dan zaman sesudahnya mengakui kelimuan beliau. Tingkat keilmuan beliau bisa disejajarkan dengan para pendiri madzhab fikih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Luasnya ilmu al-Auza’i bisa dilihat dari beberapa sisi 1. Usaha yang beliau curahkan untuk menuntut ilmu. Beliau mulai menuntut ilmu di usia yang sangat belia, dan terus belajar dari berbagai guru di berbagai penjuru dunia Islam pada masanya. Tercatat beliau berguru kepada ratusan syaikh di Syam, Makkah, Madinah, al-Yamamah, Bashrah, Kufah. Dan setiap kali berhaji beliau menemui para ulama yang datang dari berbagai wilayah Islam. Dengan demikian, beliau telah berhasil menggabungkan berbagai ilmu dari para ulama dari seluruh penjuru jazirah Arab. 2. Hafalan dan periwayatan hadisnya serta perannya dalam ikut serta meletakkan dasar Ilmu Musthalah al-Hadits dan al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau dikenal sebagai seorang perawi yang kuat hafalannya, teliti dalam meriwayatkan hadis dan tidak meriwayatkan hadis dari semua orang, akan tetapi hanya dari guru-guru pilihan yang hadisnya shahih. Dalam meriwayatkan hadis, beliau bergantung kepada hafalannya yang kuat. Walaupun demikian, beliau tidak anti terhadap penulisan hadis, dan bahkan sejak awal juga menuliskan periwayatannya, walaupun sebagiannya kemudian terbakar. Imam adz-Dzahabi mengatakan ”Hadis-hadis al-Auza’i yang Musnad bersambung sanadnya sampai Nabi berjumlah sekitar seribu hadis. Adapun hadis yang Mursal yang terputus sanadnya di akhir sanad dan yang Mauquf hadis yang dinisbatkan kepada shahabat berjumlah ribuan.” Dalam Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, beliau dikenal sebagai ahli hadis yang meneliti dan menilai para perawi hadis, sehingga penilaiannya dijadikan sebagai rujukan dan dapat kita temukan dalam kitab-kitab Rijal al-Hadits kitab mengenai biografi dan kedudukan para perawi hadis. Beberapa kutipan penilaian beliau terhadap perawi hadis di antaranya ”Telah meninggal Atha’ bin Abi Rabah pada hari kematiannya dan dia adalah orang yang paling diterima oleh semua ahli hadis.” ”Tidak ada seorang tabi’in yang hidup pada masa kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik yang lebih faqih daripada Ibnu Syihab az-Zuhri.” ”Ismail bin Abdullah, seorang perawi yang amanah terhadap apa yang ia riwayatkan.” ”Catatan al-Walid bin Mazad semuanya benar.” Dalam ilmu Musthalah al-Hadits, beliau juga mempunyai kontribusi dengan meletakkan beberapa kaidah yang disampaikan secara lisan dan dikutip oleh para penulis dalam ilmu tersebut. Di antara beberapa kutipan dari al-Auza’i dalam ilmu Musthalah al-Hadits ”Sebab hilangnya ilmu adalah hilangnya sanad.” ”Perumpamaan orang yang menyalin periwayatan gurunya kemudian tidak membacakan di depannya untuk mengoreksi kesalahannya seperti orang yang buang air kemudian tidak bersuci.” ”Memberi syakal harakat adalah cahaya bagi tulisan.” ”Ambillah hadis dari orang yang engkau yakin dan ridha kepadanya.” Muhammad bin Katsir berkata ”Aku bertanya kepada al-Auza’i mengenai seseorang yang meriwayatkan hadis dari gurunya dengan membaca kitabnya, apakah dia harus mengatakan ”Haddatsana telah menceritakan kepada kami?” Beliau menjawab ”Ia mengatakan seperti yang dilakukannya, yaitu ”Qara`tu aku membaca kepada guruku.” 3. Penguasaannya dalam ilmu fikih sehingga beliau dianggap salah satu imam madzhab fikih yang diikuti. Madzhab al-Auza’i bertahan sekitar 200 tahun di negeri Syam dan sekitarnya sebelum akhirnya hilang. Bahkan Ibnu Hajar mengutip dari al-Qurthubi, seorang ulama Andalus Spanyol bahwa madzhab yang diikuti hingga tahun 206 H di Andalus adalah Madzhab al-Auza’i, sebelum akhirnya mereka berpindah ke Madzhab Maliki hingga hari ini. Hilangnya Madzhab al-Auz’ai dikarenakan kurangnya usaha yang dicurahkan para muridnya untuk melestarikan dan menyebarkannya. Selain itu, para muridnya juga lebih concern terhadap ilmu hadis daripada ilmu fikih. Di sisi lain, para murid madzhab yang lain seperti Maliki dan Syafi’i mencurahkan usaha yang luar biasa untuk terus menjaga dan membesarkan madzhab mereka. Sebab yang lain adalah faktor kekuasaan yang memilih suatu madzhab dan menjadikannya sebagai paham resmi yang dianut oleh sebuah pemerintahan dan wajib diikuti oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Madzhab al-Auza’i sempat menjadi madzhab resmi di Andalus sebelum akhirnya para penguasa tidak lagi memilihnya sebagai madzhab resmi negara. Kepakarannya dalam ilmu fikih didapatkan dari para ulama tabi’in seperi Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab az-Zuhri, Rabi’ah ar-Ra’yi, Mak-hul dll. Bahkan sejak berumur 25 tahun beliau sudah dimintai fatwa. Dan sejak itu hingga 40 tahun sesudahnya saat beliau meninggal, beliau menjadi salah seorang mufti yang menghasilkan lebih dari 80 ribu permasalahan fikih yang diriwayatkan oleh para muridnya. Maka beliau dikenal sebagai ahli fikih negeri Syam pada zamannya dan bisa disejajarkan dengan para imam madzhab fikih lainnya. Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata ”Suatu saat, ada tiga orang ulama berkumpul di rumah Imam Malik bin Anas. Mereka adalah al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Aku kemudian bertanya kepada Malik ”Siapakah yang paling banyak ilmunya di antara ketiganya?” Imam Malik menjawab ”Al-Auza’i paling unggul di antara mereka.” Al-Hafidz Abu Ya’la al-Khalili berkata ”Al-Auza’i telah menjawab 80 ribu permasalahan fikih dengan hafalannya.” Jika ada pertanyaan, mengapa 80 ribu masalah fikih yang merupakan pendapat al-Auza’i, hanya sebagian saja yang kita temukan dalam literatur fikih? Jawabannya, ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya sebagian besar ilmu al-Auz’ai dalam masalah fikih, diantaranya Murid-murid al-Auza’i tidak menuliskan masalah-masalah fikih tersebut dalam buku dan cukup hanya meriwayatkannya secara lisan. Dengan berjalannya waktu, ketika orang tidak lagi mengikuti madzhab ini maka pendapat-pendapat imam madzhabnya juga ikut hilang. Kurangnya usaha para muridnya untuk mengembangkan dan menyebarkan madzhab tersebut. Karena tidak ada catatan tertulis, seiring waktu para pengikut madzhab hanya memilih beberapa permasalahan yang relevan atau mereka butuhkan, sehingga sebagiannya menjadi hilang. Faktor lain yang membuat turats warisan ilmu Islam hilang atau berkurang secara umum, seperti konflik politik, penghancuran dari musuh Islam, seperti dalam dalam sejarah runtuhnya Khilafah Abbasiyyah di Baghdad, dll. 4. Kiprah beliau dalam mengajarkan ilmunya dengan periwayatan hadis, berfatwa dan menjelaskan hukum fikih kepada masyarakat. Dengan kepakarannya dalam bidang hadis dan fikih, al-Auza’i terus mengabdikan dirinya untuk agama Islam dengan mengajarkan kedua ilmu tersebut kepada murid-muridnya. Hingga saat ini, kita masih bisa melihat ilmu al-Auz’ai bertebaran dalam khazanah keilmuan Islam. Dalam bidang hadis, kita dapat melihat kiprah al-Auza’i melalui hadis-hadis shahih yang beliau riwayatkan dan terdokumentasikan dalam kitab-kitab hadis primer seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud dll. Sedangkan dalam masalah fikih, fatwa dan pendapat fikih beliau dikutip dalam buku-buku fikih seperti al-Mughni, al-Majmu’ dll. Berikut ini beberapa masalah fikih menurut madzhab al-Auza’i. Ini hanya merupakan sedikit contoh dari banyak masalah yang bisa kita temukan dalam buku-buku fikih komparatif Makruh hukumnya bagi muadzin untuk berbicara di tengah-tengah adzan. Cara untuk shalat bagi orang yang tidak mempunyai kain untuk menutup auratnya yaitu dengan duduk tanpa rukuk dan sujud. Gerakan-gerakan shalat dilakukan dengan isyarat. Qunut dalam shalat Subuh hukumnya sunnah. Orang yang salah kiblat harus mengulang shalatnya. Jika ia mengetahui kiblat yang benar di tengah shalat, maka ia harus memulai shalatnya dari awal. Mengangkat tangan dalam takbiratul ihram hukumnya wajib, jika ditinggalkan maka shalatnya tidak sah. Orang yang berbicara dalam shalat karena lupa atau tidak tahu sah shalatnya. Hukum shalat jamaah adalah fardhu ain bagi laki-laki, akan tetapi bukan menjadi syarat sahnya shalat. Sujud sahwi lebih utama dilakukan sebelum salam, baik sujudnya karena kelebihan rakaat atau kekurangan rakaat. Jika imam lupa sujud sahwi, maka makmum boleh sujud sendiri setelah imam salam. Jika seorang musafir berniat untuk tinggal di suatu tempat lebih dari 12 hari, maka ia tidak boleh meng-qashar shalat. Jika berniat tinggal kurang dari itu, boleh meng-qashar shalat. 5. Debat-debat ilmiah yang beliau lakukan melawan beberapa imam madzhab. Juga perdebatan beliau dalam bidang akidah melawan kelompok-kelompok akidah yang menyimpang. Beberapa debat tersebut terdokumentasikan dalam bentuk riwayat dalam kitab-kitab hadis dan sejarah, di antaranya Debat beliau dengan Imam Abu Hanifah, diriwayatkan dalam Musnad al-Haritsi. Debat beliau dengan Sufyan ats-Tsauri, diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibn Asakir. Debat beliau dengan Imam Malik, diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibn Asakir. Debat beliau melawan Ghailan bin Abi Ghailan, seorang pengikut Qadariyyah, diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Ashbahani dalam Hilyah al-Auliya`. 6. Karya-karya tertulis dalam berbagai bidang ilmu. Akan tetapi, sebagian besar karya tersebut hilang manuskripnya dan tidak kita temukan pada zaman sekarang. Di antaranya Musnad al-Auza’i, disebutkan oleh Haji Khalifah dalam Kasyf adh-Dhunun dan Ibnu Hajar dalam al-Mu’jam al-Mufahras. As-Sunan fi al-Fiqh, disebutkan oleh Ibn Nadim dalam Fihrist. Al-Masa’il fi al-Fiqh, disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam Fihrist, Az-Zirikli dalam al-A’lam dll. Kitab as-Siyar, satu-satunya karya al-Auza’i yang manuskripnya sampai kepada kita. Berisi tentang hukum jihad, rampasan perang, interaksi dengan kafir harbi dll. Wafatnya Al-Auza’i Uqbah bin Alqamah, salah seorang murid al-Auza’i menceritakan hari terakhir ia bersama dengan beliau ”Hari terakhir aku menimba ilmu dari al-Auza’i yaitu pada malam hari di mana besoknya beliau meninggal. Ketika itu, seorang muadzin yang merdu suaranya sedang mengumandangkan adzan, kemudian al-Auza’i berkata ”Alangkah merdu suaranya. Telah sampai kepadaku kisah Dawud Alaihissalam bahwa apabila beliau mulai memainkan serulingnya, binatang-binatang buas dan burung-burung berkumpul di sekitarnya hingga mati kehausan. Seandainya seruling itu diperdengarkan di dekat sungai, pastilah sungai itu akan berhenti mengalir.” Kemudian beliau diam sejenak. Setelahnya beliau berkata ”Semua urusan yang tidak disebut akhirat di dalamnya, tidak ada kebaikan padanya.” Kemudian kami melaksanakan shalat, dan itulah momen terakhir aku melihatnya.” Para ahli sejarah menceritakan bahwa al-Auza’i meninggal pada bulan Safar tahun 157 H karena menghirup asap dalam pemandian air panas. Sebagian riwayat menceritakan bahwa ia meninggal di pemandian air panas umum, dan sebagian lain mengatakan bahwa ia meninggal di pemandian rumahnya. Diceritakan bahwa istrinya menyiapkan bara untuk memanaskan air yang digunakan al-Auza’i untuk mandi di hari yang dingin. Secara tidak sengaja, ia mengunci pintu dari luar. Ketika bara semakin besar dan asapnya memenuhi kamar mandi, al-Auza’i berusaha keluar akan tetapi tidak bisa karena pintunya terkunci dari luar. Beliau kemudian ditemukan dalam keadaan berbaring dengan menjadikan tangannya sebagai alas dan menghadap kiblat. Bagaimana pun cara kematian seorang ulama, hal itu tidak akan mempengaruhi kedudukannya di sisi Allah. Karena setiap kita tidak tahu di mana dan dengan cara apa akan meninggal. Apa yang beliau tinggalkan berupa khazanah ilmulah yang akan tetap dikenang dan menjadikannya mendapatkan kedudukannya di sanubari umat Islam. Bagaimana pun juga, beliau tetap seorang al-Auza’i, yang sebagaimana disebutkan oleh Salamah bin Said ”Beliau adalah seorang imam yang patut diikuti.” Rahimahullah rahmatan wasi’ah, wa adkhalahu fasiha jannatih, wa nafa’ana bi ulumihi fi ad-darain. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas, memasukkannya ke dalam surga-Nya, yang memberikan manfaat kepada kita dengan ilmunya di dunia dan akhirat, Amin. Post Views 1,817 Biografi Imam Malik bin Anas, Pendiri Mazhab Maliki. KOMPAS.com - Pada masa dinasti Bani Umayyah, lahir seorang tokoh cendekiawan Muslim yang sangat terkenal di bidang fikih, buku karangannya adalah Al-Muwaththa. Beliau adalah Imam Malik bin Anas. Kitab Al-Muwaththa yang ia tulis berisikan 5.000 hadis sahih yang dikumpulkannya bersama para

Nama yang sebenarnya dari Imam Al-Auza’i adalah Abu ‘Amr Abdurrahman bin Amr Asy Syamy Ad Dimasqy, ia merupakan seorang ahli fiqh di Syam pada masanya. 1.Riwayat Hidup 1.1 Lahir. Imam Al-Auza’i lahir pada tahun 88 hijriyah. 1.2Wafat

Umam ibn Abdul Wahid salah seorang murid Imam al-Auza‟i, beliau memerintahkan bahwa, kami membaca dan mempelajari kitab al-Muwaththa‟ dihadapan Imam Malik sendiri selama 40 hari lamanya. Imam Malik berkata : kitab ini aku susun selama 40 tahun. Sementara kalian baru membaca selama 40 hari, betapa sedikitnya kalian fahami
A Biografi Imam al-Syafi’i, Pendidikan dan Karyanya 1. Latar Belakang Imam al-Syafi’i Umar ibn abi Salamah, teman Auza’in dan Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki’ ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail ibn ‘Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid, dua
Kitab ini memuat silang pendapat antara Abu Yusuf dengan al- Auza‘i perihal perang dan jihad serta bantahannya terhadap pendapat Auza‘i k. Kitab al- Kharaj . Kitab ini memuat pola pemikirannya berkaitan dengan aspek ekonomi, seperti aspek moneter, pajak, pemerintahan dan musyawarah l. Kitab al- shalat . Kitab ini memuat pola guru dan
Imam Malik bin Anas dikenal luas akan kecerdasannya.Suatu waktu ia pernah dibacakan 31 buah Hadis Rasulullah SAW dan mampu mengulanginya dengan baik dan benar tanpa harus menuliskannya terlebih dahulu. Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh nKZMS.
  • lnb47daufn.pages.dev/854
  • lnb47daufn.pages.dev/208
  • lnb47daufn.pages.dev/765
  • lnb47daufn.pages.dev/773
  • lnb47daufn.pages.dev/454
  • lnb47daufn.pages.dev/750
  • lnb47daufn.pages.dev/280
  • lnb47daufn.pages.dev/213
  • lnb47daufn.pages.dev/141
  • lnb47daufn.pages.dev/537
  • lnb47daufn.pages.dev/198
  • lnb47daufn.pages.dev/261
  • lnb47daufn.pages.dev/199
  • lnb47daufn.pages.dev/797
  • lnb47daufn.pages.dev/683
  • biografi imam al auza i